Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Nasional

Kalau Aparat Menampar Jurnalis, Siapa Lagi yang Akan Bicara?

×

Kalau Aparat Menampar Jurnalis, Siapa Lagi yang Akan Bicara?

Sebarkan artikel ini
Kalau Aparat Menampar Jurnalis, Siapa Lagi yang Akan Bicara?
Kalau Aparat Menampar Jurnalis, Siapa Lagi yang Akan Bicara?

Semarang, CMI News — Sore itu, langit mendung menggantung di atas Mapolda Jawa Tengah. Di bawahnya, puluhan jurnalis dan aktivis sipil berdiri diam dengan mata tajam penuh perlawanan. Mereka tak berteriak, tak merusak, tak menyerang. Tapi pesan mereka nyaring terdengar: cukup sudah kekerasan terhadap jurnalis.

Aksi Kamisan ini bukan aksi biasa. Ini adalah bentuk duka dan amarah yang terbungkam, namun dibalut dengan keteguhan dan simbol perlawanan. Poster-poster bertuliskan “Jurnalis Bukan Teroris”, “Save Journalist”, dan “Journalism Is Not a Crime, Brutality Is” diangkat tinggi. Mereka membawa satu pertanyaan penting yang mengguncang hati nurani: Kalau aparat menampar jurnalis, siapa lagi yang akan bicara?

Kekerasan yang Tak Pernah Berhenti

Insiden pemukulan terhadap Makna Zaezar, pewarta foto kantor berita Antara oleh ajudan Kapolri, menjadi pemantik aksi ini. Peristiwa pada 5 April 2025 itu bukan hanya tindakan kekerasan, tapi simbol pembungkaman. Dan sayangnya, bukan kali pertama.

“Kasus Makna hanyalah satu dari sekian banyak kekerasan terhadap jurnalis yang terus diulang. Ini sistemik,” tegas Raditya Mahendra Yasa, Koordinator Lapangan Aksi.

Ia menyebut kekerasan oleh aparat – baik dari kepolisian, TNI, maupun pemerintah daerah – sudah menjadi pola yang tak kunjung dihentikan. Raditya juga mengingatkan bahwa tindakan seperti ini jelas melanggar Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Sore ini hanya ada satu kata: Lawan! Lawan represi, lawan intimidasi, hidup jurnalis!” serunya, diiringi pekik semangat dari peserta aksi.

Simbol Perlawanan: Makam Demokrasi

Di tengah aksi, peserta menyalakan dupa dan menaburkan bunga di atas simbolik ‘makam demokrasi’. Sebuah papan bertuliskan “RIP Demokrasi” terpancang, seolah menandai bahwa kebebasan berbicara – hak paling dasar dalam negara demokrasi – kini sedang sekarat.

Fajar Muhammad Andhika, pengacara publik dari LBH Semarang, menegaskan bahwa jurnalis adalah fondasi keempat demokrasi. Jika suara mereka dibungkam, maka suara rakyat juga ikut hilang.

“Kalau aparat sudah berani mengintimidasi jurnalis, itu bukan sekadar pelanggaran hukum. Itu pertanda kita sedang mundur, perlahan tapi pasti, menuju otoritarianisme,” katanya lantang.

Lima Tuntutan untuk Negara

Aksi Kamisan ini tidak selesai sebagai simbol semata. Di ujung acara, lima tuntutan utama disampaikan:

  1. Pecat aparat yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis.

  2. Ciptakan ruang aman bagi jurnalis saat bekerja.

  3. Aparat wajib patuh pada Undang-Undang Pers.

  4. Kapolri harus bertanggung jawab atas tindakan bawahannya.

  5. Perusahaan media harus melindungi jurnalis yang menjadi korban kekerasan.

Suara yang Tak Boleh Padam

Aksi ini adalah pengingat bagi kita semua: kebebasan pers bukan hadiah, melainkan hak yang diperjuangkan. Ketika jurnalis dibungkam, informasi mati, dan rakyat kehilangan hak untuk tahu.

Kalau aparat dibiarkan menampar jurnalis tanpa konsekuensi, maka hari itu, yang ditampar bukan hanya wajah wartawan — tapi wajah demokrasi kita sendiri.

Dan jika jurnalis tak lagi bisa bicara, siapa yang akan bicara untuk kita?




Eksplorasi konten lain dari CMI News

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.













error: Content is protected !!